Kebenaran yang Datang Perlahan

Ia mengalir dengan tenang dan perlahan, lalu terangkum utuh tak terbantah.

Kemarin sore hingga malam hujan sangat deras dan jalur pulang katanya sedang banjir, jadilah saya menunggu waktu cukup lama untuk pulang. Walhasil saya menghabiskan waktu mengobrol dengan sahabat, pemilik tempat saya mengajar, yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri.

Di obrolan kali itu saya menceritakan bahwa baru-baru ini saya mendapatkan semacam sudut pandang utuh tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahan saya yang, alhamdulillah, berakhir cerai. Sungguh luar biasa, bagaimana ‘seseorang’ bisa mengkondisikan/memanipulasi/memprovokasi orang-orang di lingkar inti dalam hidup saya (termasuk orang-orang di lingkungan sekitar saya lainnya), lalu menjebak dan menyeret saya ke dalam sebuah pernikahan hanya untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari aib yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan saya maupun keluarga saya. Saya tidak akan berpanjang lebar bercerita soal ini di sini, meski saya pribadi tidak keberatan orang-orang dekat yang sudah tahu, menyampaikan kisah saya ini kepada orang lain, selama menyampaikannya pada orang yang tepat. I truly know how wise you all are.

Yang jadi pemikiran saya adalah bagaimana cerita tersebut jadi utuh dengan sendirinya tanpa mencari tahu lebih jauh ke mana-mana. Entah bagaimana saya selalu saja mendapat kabar ini dan itu. Sebenarnya kabar-kabar tersebut sudah tidak terlalu penting bagi saya. Toh saya sudah menjalani hidup yang tenang dan nyaman dengan anak saya sekarang. Apapun itu informasi yang sampai ke telinga tanpa sengaja, sudah tidak ada pengaruhnya pada kehidupan saya bahkan pada anak saya sekalipun. Namun se’receh-receh’-nya informasi, hal-hal tersebut pastilah terekam dalam otak bawah sadar. Dan tanpa harus dipikirkan secara mendalam perlahan-lahan benang merah dari semua informasi itu saling terkait dan dengan sendirinya membuahkan sebuah kesimpulan yang tidak terbantahkan. Membuat saya mendapat semacam ‘Aha! moment’ dengan intensitas rendah. Karena udah segitu engga signifikannya lagi masalah ini di hidup saya.

Bisa jadi mungkin beginilah Tuhan mengantarkan kebenaran sejati pada hati kita. Kebenaran dihadirkan dengan perlahan dan lembut.

Dia yang Maha Tahu Segala menyampaikan kebenaran hanya saat kita sudah sanggup menggenggamnya dengan ikhlas. Bagi saya butuh kurang lebih 7 tahun untuk paham satu hal ini. Dan sekarang, pemahaman ini mengantarkan saya pada sebuah pertanyaan lanjutan. Apa gunanya saya memahami semua ini sekarang? Kan sudah engga ada gunanya lagi?

Setelah merenung sejenak. Satu jawaban yang bisa disampaikan dengan pasti. Saya menjadi sangat yakin pilihan saya untuk bercerai adalah pilihan terbaik yang pernah saya pilih selama saya hidup. Saya bersyukur Tuhan memberikan keberanian dan tekad yang kuat untuk mengambil langkah itu. Saya bersyukur Tuhan menujukkan jalan yang mudah untuk keluar dari pengalaman hidup terkelam yang pernah saya alami. Saya bersyukur dipertemukan dengan sahabat-sahabat yang selalu ada dan membantu saya bangkit. Saya bersyukur memiliki keluarga yang sangat suportif. Dan yang paling utama adalah saya sangat bersyukur karena saat ini saya sudah memiliki tempat mencurahkan segala rasa cinta & kasih sayang tanpa batas dan tanpa pamrih; seorang anak laki-laki.

Hm… baru terpikir satu hal lagi yang patut disyukuri. Saya kira ini penting untuk disampaikan. Mungkin, karena pada saat itu tidak ada satu orang pun yang bisa diajak bicara tentang keengganan yang amat sangat untuk menjalin hubungan dengan mantan suami (bisa jadi juga pikiran saya saja yang saat itu tertutup untuk melihat orang yang mau mendengar), praktis saya merasa sangat sendiri, bisa dibilang depresi, hingga satu-satunya yang bisa dijadikan tempat bergantung, mengadu, dan bicara hanyalah Tuhan seorang. Benar-benar Tuhan. Bukan manusia, saat itu saya nyaris hilang rasa percaya sama mahluk yang namanya manusia.

Satu-satunya momen yang bisa membuat saya merasa seperti berada dalam secuil ketenangan yang sangat berharga hanyalah saat solat dan berdo’a. Justru karena momen terkelam itu saya sekarang jadi 100% yakin Tuhan itu mendengar, Tuhan itu ada, Tuhan itu bisa diraih, Tuhan itu bisa memeluk kita kapan pun kita butuh pelukan, Tuhan itu melindungi, Tuhan itu hadir dimana pun, kapan pun. Tuhan tidak membiarkan kita sendirian. Tuhan itu selalu merespon dengan tepat. Pengalaman ini menjadi bekal paling esensial sepanjang hidup saya selanjutnya.

Ketika kita berada di titik nadir, disitulah inti kehidupan menampakkan wujud murninya.

Photo by Cody Engel on Unsplash.

Photo by Arun Clarke on Unsplash.

Photo by Birger Strahl on Unsplash



Tinggalkan komentar

About Me

Seorang ibu dari satu anak laki-laki tapi bukan seorang istri. Seorang guru bahasa Inggris yang menolak bekerja di institusi pendidikan formal manapun. Seorang penulis yang masih berusaha konsisten & istiqamah. Seorang penyuka buku yang sekarang selalu berusaha melawan kantuk setiap membaca. Seorang seniman yang punya banyak ide, haus mengeksplorasi segala macam media, namun masih realistis & tahu diri karena ‘skill’ yang belum mumpuni. Kesimpulannya, seorang perempuan yang mencintai segala sisi dari perjalanan hidupnya secara utuh.

Newsletter